Sore itu aku
bertemu dengan seseorang yang meruntuhkan dunia dingin hati. Melelehkan
serpihan lilin yang membeku. Mencairkan dengan kekuatan tak kesat mata. Sejak
kedipan pertama, aku telah menitipkan detakan dalam rongga. Apa kamu percaya
cinta pada pandangan pertama? Mulanya aku kira itu hanya dongeng belaka. Isapan
jempol yang tak akan pernah nyata. Bodoh sekali terperangkap dalam mata
seseorang. Tidak masuk akal!
Ingatkah ketika kutuliskan kisah seorang gadis sahabat kesayangan dalam tubuh kertasmu. Cinta seperti itu tidak akan bertahan lama. Hanya sekejap, lalu hilang dihembus angin. Bodoh sekali orang bisa mencintai sekejab mata. Hingga tadi sore aku merasakannya sendiri.
Kebetulan aku pulang kuliah agak cepat. Entah kenapa kepalaku terasa pusing, mungkin efek begadang selama tiga malam untuk membuat tugas yang deadline minggu ini. Mahasiswa sepertiku harus melalui berbagai cobaan selama empat tahun untuk mendapatkan gelar sarjana. Seperti biasanya aku mampir kemesjid kampusku untuk menjalankan solat Ashar. Aku suka suasananya, begitu sejuk,nyaman, dan damai. Aku sering solat berjemaah disini suara imamnya menembus hingga ke relung terdalam. Dan sampai sekarang aku hanya tau suaranya bukan rupanya.
Setelah solat aku bersiap hendak pulang ke kosanku, ketika seseorang bercelana sirwal kesulitan memahami buku yang tengah ia baca. Dia kelihatan kebingungan dengan setiap tulisan yang tertata rapi dalam buku yang tengah ia pegangi. Seorang perempuan dengan gamis berbunga-bunga kuning menghampirinya. Dia juga memegang buku yang sama dan mereka berjalan menuju gerbang bersama.
Aku melihat semua itu dengan kadar kecemburuan diambang batas. Bahagia sekali wanita itu adalah aku.
***
Iblis mulai membisikan akal bulus. Menghujani rayuan kegelapan, aku nyaris tergoda. Setan menyuruhku untuk mendekatinya. Perlahan ku kenanakan hijab coklat susu, melilitkannya sedemikian rupa hingga membingkai wajah ovalku. Aku mantap berhijab syar’i bukan karena ketukan hati tapi karena ada maksud tersembunyi.
Ya, aku ingin melepas rindu dengan lelaki itu. Setiap pulang kuliah, kusempatkan beribadah dimesjid tempat biasanya dan berdoa supaya dipertemukan dengan belahan hati. Tak sengaja melihat pengumuman mading depan mesjid. Dibuka pendaftaran kursus membaca alqur’an khusus mahasiswa dan dibimbing oleh imam mesjid langsung. Kak Fariz. Ternyata dialah separuh nafasku.
***
Kaki ini menuju ruang khusus dilantai dua mesjid. Tak sampai sepuluh orang mahasiswa sudah berkumpul melingkar. Diatas meja mungil, alqur’an terbuka. Aku tersenyum kepada mereka dan memberi salam sambil tersenyum. Mencari tempat disisi paling kanan.
Kak Faris sudah menunggu. Senyuman termanis kulemparkan dengan penuh kerinduan. Berharap ia tahu isi hatiku.
“Baiklah kakak-kakak sebelum kita belajar tidak ada salahnya memperkenalkan diri dulu. Silahkan dari kakak yang berjilbab coklat muda”
Dear, hatiku hampir meledak. Suaraku bergetar hebat saat menyebut namanya. Fariz, Fariz, Fariz. Begitu indah nama itu.
“Silahkan kak” kak Fariz kembali berbicara.
“Maaf kak, saya masih jomblo kak”
Suara tawa berdengung, seorang mahasiswa berbadan gemuk menepuk pundakku.
“Assalamualaikum, perkenalkan nama saya Halwa, saya seorang mahiswa fakultas keguruan”
“Rupanya kakak seorang calon guru ya pekerjaan yang sangat mulia. Membantu anak bangsa mencadi cerdas, tidak semua orang ingin menjadi guru”
Owh..dear indah sekali pujian itu. Benar kata orang sebuah pujian bisa menyeret kegerbang hayalan. Tapi aku tak peduli, asal raga itu bisa menjadi milikku, cara apapun rela kutempuh.
***
Tak terasa sudah hampir dua bulan aku rutin mengaji bersamanya. Empat orang mahasiswa menyerah ditengah jalan tinggal kami berenam. Sepertinya, kesabaranku mulai membuahkan hasil. Aku merasa lelaki itu mulai tertarik. Caranya mencuri pandang terasa berbeda. Ada korbaran dalam teduh pandangannya. Aku terbakar.
“Apakah mbak Halwa tak ingin menikah?” Selepas doa penutup kak Fariz bertanya kepadaku. Para mahasiswa yang belum pulang pada berdehem-dehem pelan.
“Belum punya calon kak, apa kakak mau mencarikan?”
Dia mengangguk pelan
“Kalau bisa yang seperti kakak ya...” aku mencolek teman disampingku. Dia melirik dengan penuh arti.
“Dia sudah ada yang punya Halwa” Selorohnya.
“Bercanda, Sa. Saya ini masih kurang ilmu dan tidak pantas mendapatkan suami seperti kak Fariz. Hahahah”
Kami semua tertawa. Menganggap itu lelucon paling seru, padahal jauh dilubuk hati, aku mengharapkan kak Fariz menjadi milikku.
Tak apa. Selagi janur kuning belum melengkung apasalahnya jika ku perjuangkan.
***
Apakah cinta itu salah?
Kemarin setelah usai belajar mengaji kak Fariz menahanku beberapa saat. Dia bilang ingin menjadikanku istrinya. Aku hanya bilang “Akan ku pikirkan lagi”
Kukira, ketika datang hari dimana dua hati bersatu, aku akan melayang ke surga. Namun semua tidak sesuai yang ku pikirkan.
Aku sedih. Semalam air mataku menggalir deras. Aku merasa kotor, hitam. Aku berdosa. Allah telah memberiku banyak kenikmatan, tapi apa balasanku? Hamba hina mempermainkan ajaran-Nya. Hijab ini hanya topeng! Aku benci, benci...
Terdengar ketukan pintu dari kamar kost. Perasaanku sakit aku memutuskan untuk bolos kuliah hari ini. Siapa yang datang? Apakah teman-teman?
Aku merapikan rambutku yang semberawut dengan jari, lalu terhuyung membuka pintu.
Sosok calon istri kak Fariz menatap tajap. Mulutnya mengetup rapat. Sepertinya bencana akan datang. Perutku mendadak sakit. Aku teringat cerita kalau kecemburuan seorang wanita bisa membuatnya melakukan perbuatan keji. Jangan sampai wanita ini bertindak gila.
“Mbak Tari, kenapa kesini?”
“Boleh aku masuk?”
Aku mundur dua langkah. Wanita bertubuh mungil itu masuk dan duduk ditepi tempat tidurku.
“Tiga bulan lagi aku akan menikah, maukah kau membantuku?”
Aku mengangguk pelan
“Tolong gantikan aku menjadi pengantin wanitanya?”
Aku melotot mendengar perkataan Mbak Tari yang tidak masuk akal.
“Maksud mbak apa? Aku tidak mengerti.”
Mbak Tari menatap langit-langit kamar menutup wajahnya dengan telapak tangan, tubuhnya bergetar. Dia tidak sanggup mempertahankan mutiara beningnya.
“Kak Fariz mengatakan ia sangat mencintaimu, Wa. Aku tidak sanggup menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak mencintaiku. Aku memintanya untuk bersamamu saja”
Mbak Tari bangkit, dia keluar dari kamarku dengan setengah berlari. Jilbab birunya berkibar diterpa angin Dhuha. Mukaku terasa tertampar. Takku sangka masalah bisa serumit ini. Bagaimana mungkin aku bisa bersamanya jika ada wanita lain yang tersakiti.
Apa yang harus kulakukan?
***
Langit malam begitu gelap tak satupun bintang yang menerangi. Sama seperti hatiku hancur berkeping-keping. Mendung mengantung siap memuntahkan kesedihannya. Melalui pemikiran yang panjang, menimbang baik buruknya, aku telah memutuskan jalan hidupku. Aku tak akan pernah sanggup berbahagia diatas penderitaan wanita lain. Karena aku masih seorang manusia, bukan binatang.
Koper berisi baju dan surat-surat penting ku seret menuju bis yang akan membawaku pergi. Meninggalkan sebuah cinta semu yang bukan untukku. Ujung hijabku melambai mengisyaratkan selamat tinggal. Dalam hening, tulus aku berdoa, semoga kalian bahagia.
Nice Story Rin, kenapa nggak menjadi Danovar? (penulis buku Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini) salam dari Maze Daily mazedaily.blogspo.com
ReplyDelete